Pakai Jubah Moral, Jalankan Operasi Politik: Fenomena Aktivis Palsu Mencuat di Riau -->

News

Pakai Jubah Moral, Jalankan Operasi Politik: Fenomena Aktivis Palsu Mencuat di Riau

Jumat, 14 November 2025, 1:39 PM

Muhammad Aderman, SE


ONLINERIAU.COM — Fenomena buzzer politik kembali menyeruak, kali ini dengan dugaan modus baru yang memanfaatkan label “aktivis 98” maupun “aktivis pendidikan” sebagai kedok untuk menjalankan operasi politik terselubung. Sejumlah sumber dari jaringan masyarakat sipil mengungkap adanya sosok yang diduga memainkan peran ganda, tampil sebagai aktivis kritis, namun di balik layar menjalankan fungsi buzzer untuk kepentingan kekuasaan.


Oknum tersebut disebut kerap hadir di ruang publik sebagai figur moral dan tokoh pembela rakyat, tetapi pada saat yang sama melakukan pembingkaian isu, menyerang tokoh tertentu, serta membangun narasi politik yang dinilai terlalu terarah untuk disebut organik.


Pemerhati publik Riau, Muhammad Aderman, SE, mengaku gerah dengan fenomena aktivis gadungan yang justru terlibat dalam operasi politik praktis.


“Dia sering mengaku aktivis reformasi dan pemerhati pendidikan. Tapi gerakannya sangat politis, bahkan mengarah pada pembunuhan karakter pejabat daerah yang tidak sejalan dengan kepentingannya,” ujar Muhammad Aderman, Jumat (14/11/2025).


Dugaan keterlibatan oknum berinisial ES semakin mencuat pasca OTT Gubernur Riau Abdul Wahid oleh KPK, ketika pola serangan sistematis tiba-tiba meningkat. Menurut pria muda yang akrab disapa Ade, rangkaian opini, pernyataan publik, hingga aktivitas media sosial yang diduga dikelola ES menunjukkan pola koordinasi yang tidak wajar.


“Dia mengaku aktivis, tapi perannya lebih mirip buzzer elite. Dugaan kuat ada yang membayar, ada kepentingan, baru dia bergerak,” tegasnya.


Fenomena ini memunculkan kekhawatiran mengenai semakin kaburnya batas antara aktivisme tulen dan aktivitas buzzer berbayar. Pria kelahiran Kota Dumai ini juga mengatakan bahwa label “aktivis 98” atau “aktivis pendidikan” kini kerap dijadikan legitimasi instan untuk bicara di ruang publik, meski motifnya tidak selalu sesuai nilai reformasi maupun kepentingan pendidikan.


“Ketika label aktivis dipakai sebagai kedok, dampaknya bukan hanya merusak reputasi pribadi, tapi juga mencederai gerakan yang selama ini memperjuangkan kepentingan publik,” jelasnya.


Informasi lapangan menyebut bahwa oknum tersebut beberapa bulan terakhir aktif melancarkan serangan terhadap Abdul Wahid melalui media online kecil, status provokatif di media sosial, serta opini moralistik yang dibingkai seperti kritik idealis. Namun, arah serangannya dinilai terlalu konsisten dan tepat waktu untuk dianggap sebagai respons spontan.


“Timing serangannya selalu pas ketika kepala daerah itu mengambil keputusan yang tidak menguntungkan kelompoknya. Ini pola operasi,” tambah Ade.


Ironisnya, di saat menyerang satu pihak, oknum yang sama justru disebut-sebut menjadi “backing politik” bagi seorang wali kota di salah satu kabupaten/kota di Riau. Ia diduga membangun narasi positif, meredam kritik, dan menjadi tameng digital bagi pejabat tersebut.


Seorang jurnalis senior di Riau membenarkan adanya pola komunikasi digital yang menjurus pada peran buzzer profesional.


“Dia seperti juru bicara tidak resmi. Kalau muncul isu negatif di kota itu, langsung ada narasi tandingan. Kuat dugaan ada hubungan transaksional,” ungkapnya.


Ade menilai penggunaan identitas “aktivis 98” atau “aktivis pendidikan” sebagai kedok operasi politik sangat berbahaya. Selain merusak kredibilitas gerakan sosial, hal ini memperparah polarisasi publik dan memperluas ruang disinformasi.


“Ketika label aktivis diperdagangkan, ruang demokrasi rusak. Publik tidak bisa lagi membedakan mana kepentingan idealis dan mana kepentingan transaksional,” imbuhnya.


Lanjutnya, Ade mendorong aparat penegak hukum dan lembaga pengawas digital untuk menelusuri aktivitas buzzer berkedok aktivis yang dikhawatirkan berdampak pada stabilitas pemerintahan daerah.


“Beberapa sumber menyebut aktivitas oknum ini tidak berdiri sendiri, tetapi terhubung dengan jejaring politik lebih besar di Provinsi Riau. Kita mendesak penegak hukum menelusuri lebih jauh aktivitas ini,” tutupnya. (*)




TerPopuler